Senin, 26 Desember 2011

Sinopsis novel "Merah Putih di Old Trafford"


Sinopsis Novel “Merah Putih di Old Trafford
            Novel ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak yang bernama Hanif Abdurrauf Sjahbandi yang semasa kecilnya selalu berkeliaran kesana-kemari menyusuri setiap ruangan yang ada dirumahnya, bagaikan tornado mungil yang tidak mau diam. Untuk mengatasi tingkahlaku Hanif, ayahnya yang beranama bapak Rony mengajaknya kesebuah arena bermain anak dikawasan pondok indah. Sesampainya disana, arena bermain tersebut sudah ramai sekali dengan tawa riang anak-anak dan para orang tua yang mengawasinya. Berbagai fasilitas permainan anak-anak ada disana, tetapi permainan yang paling menyedot perhatian Hanif hanyalah wahana mandi bola. Tanpa menunggu ayahnya ia langsung berlari menuju lautan bola. Ia merasa begitu senang dan nyaman dengan permainan tersebut, sehingga tidak menghiraukan anak-anak dan orang dewasa yang ada disekelilingnya.
            Sejam berlalu  dan hanif masih saja asyik bermain, ketika ayahnya mengajaknya untuk pulang Hanif hanya tertawa-tawa dan tidak menanggapi ajakan ayahnya itu. Ketika pak Rony mulai jenuh karena ajakannya tidak ditanggapi sedikitpun, tiba-tiba pak Rony menemukan sebuah ide untuk mengajak Hanif membeli sebuah bola. Ternyata ide tersebut berjalalan sempurna, Hanif langsung menanggapi ajakan ayahnya untuk membeli sebuah bola. Kemudian, pak Rony segera membawa Hanif untuk membeli sebuah bola sepak.
            Siapa sangka bahwa inisiatif pak Rony untuk membelikan Hanif sebuah bola sepak menimbulkan perubahan bagi keluarganya, khususnya Hanif. Rumahnya kini terasa lenggang karena tidak terlihat lagi tornado mungil yang berputar-putar menyusuri setiap ruangan. Setiap hari kaki kecil Hanif menggiring bola yang telah dibeli bersama ayahnya itu dan sesekali dibantingnya kererumputan lalu dilemparkannya kedinding. Sama seperti ketika berada ia berada diwahana mandi bola, fokusnya seolah tersedot, sampai-sampai lapar yang ia rasakan sam sekali tidak dihiraukannya.
            Ketika Hanif sudah menjadi seorang siswa TK Al-Marjan, ia sangat ngotot tidak mau diantar jemput oleh mobil sekolah, tetapi ia lebih memilih berjalan kaki, meskipun punggungnya harus menggendong ransel dan tangannya bergantian menjinjing meja gambar, ia tetap semangat. Setiap hari ia berjalan sendiri melawan arah menuju rumah, matanya selalu menatap  apa saja yang menarik pandangannya, termasuk sebuah tutup botol didekat telapak kakinya. Tanpa meminta persetujuan siapapun dan tidak ragu sedikitpun, Hanif lalu menendang tutup botol dengan satu kakinya, lalu menggiringnya dengan kedua kakinya secara bergantian.
            Ketika suatu hari Hanif mengikuti pertandingan sepakbola antar TK sekecamatan di komplek jati asih. Ibunya yang bernama bu Tia merasa gelisah, ia ingin menyaksikan Hanif yang sedang bertanding sepakbola. Seperti biasa, Hanif begitu antusias ketika bersinggungan dengan bola, bahkan ketika ayah dan ibunya belum datang untuk menonton penampilannya. Dalam pertandingan pertamanya ini, ia belum mengenal yang namanya peratuaran bermain sepakbola, ia hanya tahu bola itu wajib ditendang kesebuah gawang, tak peduli gawang siapapun.
            Ketika Hanif menendang bola kegawangnya sendiri, alias melakukan gol bunuh diri, ia tidak terpekur seperti para pemain bola dilapangan hijau, tetapi sebaliknya ia malah bersorak riang gembira. Tawa pun meledak dari para guru,  penonton dan juga kedua orangtuanya yang baru datang. Semuanya geli melihat Hanif yang sudah berusaha mati-matian menggocek bola, bangkit ketika dijegal lawan, berkelit dengan gesit untuk menggapai kemenangan tetapi akhirnya malah memasukan bola kegawang sendiri. Ayahnya yang melihat kejadian itu langsung memanggil Hanif dan memberitahunya tentang peraturan permainan sepakbola. Hanif mencamkan kata-kata ayahnya tentang peraturan itu kedalam ingatannya, lalu mengangguk-angguk mengerti dan langsung kembali kelapangan. Setelah masuk kembali kelapangan Hanif langsung mendapatkan bola umpan dari temannya, yang kemudian langsung digiringnya untuk menerobos pertahanan lawan. Tak lama kemudian, ia berhadapan dengan kiper yang berteriak-teriak panik. Hanif tidak mau berlama-lama, ia segera menendang bola dengan sekuat tenaganya kearah gawang dan bola mengelinding pelan masuk kesebelah kiri kaki penjaga gawang. Gol yang sah itu membuat Hanif melompat tinggi  kegirangan, dan para penontonpun bersorak dan memberikan semangat pada Hanif.
            Setelah permainan selesai, dengan ditemani ayah dan ibunya, Hanif menerima hadiah dan sebuah piala berbentuk replika bola dari pertandingan sepakbola pertamanya itu.
            Beberapa tahun berlalu, Hanif kini tumbuh menjadi murid SD yang semakin menggilai bola. Kecintaannya pada sepakbola membuatnya semakin tidak tertarik dengan kegiatan olahraga lainnya, termasuk les renang yang diikutinya. Setiap pergi ketempat les renang yang tak jauh dari rumahnya, ia selali bermalas-malasan, sampai-sampai ibunya kewalahan sendiri. Sementara, pak Rony semakin tidak tahu perkembangan Hanif karena ia sibuk dengan perusahaannya.
            Bakat dan semangat yang dimiliki Hanif akhirnya membuahkan hasil. Di SD Al-Azhar 9 Kemang Pertama, Bekasi, seorang laki-laki terpana melihat Hanif bermain sepakbola bersama teman-temannya. Nama lelaki itu adalah pak Slamet, ia adalah guru yang membimbing kegiatan ekstrakulikuler sepakbola di SD tersebut. Dari sekian banyak muridnya, hanya Hanif yang mampu menyita perhatiannya.
            Sesaat, pak Slamet celingukan mencari sesuatu, lalu didapatinya bu Tia yang duduk agak jauh dari lapangan, Kemudian pak Slamet menghampirinya disela-sela pertandingan. Ia bermaksud untuk memberitahu kepada bu Tia tentang bakat yang dimiliki Hanif. Setelah mengobrol dengan bu Tia, ia akhirnya mengusulkan supaya Hanif dimasukkan ke sekolah sepakbola. Setelah mendengar hal itu bu Tia menanggapinya dengan merenung dan mengangguk-angguk.
            Pada malam harinya, bu Tia menyampaikan saran pak Slamet dan rencananya untuk mencarikan Hanif sekolah sepakbola kepada pak Rony. Tanpa diduga, rencana itu disambut dengan tentangan keras pak Rony.
            Sementara, lambat laun usaha milik pak Rony mulai meningkat. Akhirnya bu Tia dan anak-anaknya memurtuskan untuk berkunjung keperusahaan suaminya itu yang ada di Bitung. Setelah sampai di kota Bitung, Hanif dan keluarganya berkeliling kota Bitung. Di tengah perjalanan pak Rony bertanya pada Hanif, apakah dia benar-benar serius untuk menjajaki olahraga sepakbola, lalu Hanif menanggapinya dengan baik sambil menganggukkan kepalanya. Setelah melihat reaksi dari Hanif, pak Rony langsung menyuruh bu Tia untuk mencarikan sekolah sepakbola untuk Hanif, mendengar hal itu bu Tia langsung menanggapinya dengan terkejut.
Setelah pulang dari Bitung, dengan persetujuan pak Rony bu Tia langsung mencarikan sekolah sepakbola untuk Hanif. Bu Tia memilih sekolah sepakbola berstandar internasional yang berada dikawasan Cikunir. Sekolah sepakbola yang dipilih bu Tia adalah ASA (Asian Soccer Academy), karena menurut bu Tia, Hanif tidak sekedar mendapat pembelajaran sepakbola, tetapi ia akan mendapatkan lebih dari itu, seperti membangun kesadaran perbedaan bahasa dan warna kulit, serta menimbulka rasa percaya diri sebelum ia berlaga dan merumput dinegara lain selain Indonesia.
Tibalah hari pertama Hanif untuk berlatih di ASA. Anak-anak berbeda bangsa bergerumul memperebutkan satu bola. Mereka bekerjasama dalam merebut, mempertahankan, membagi dan memasukan bola kedalam gawang. Jika bahasa terasa sulit diucapkan, isyarat teriak dan gerak badanpun sudah cukup untuk membuat mereka saling mengerti satu sama lainnya.
Untuk mendukung Hanif yang berlatih sepakbola dengan giat, pak Rony bermaksud untuk mengajak dan membelikan sepatu sepak bola baru untuk Hanif. Setelah tiba ditoko sepatu, Hanif langsung memilih dan mencoba berbagai macam sepatu sepakbola yang pas dan nyaman untuk dikenakan dikedua kakinya. Setengah jam berlalu, Hanif masih juga belum menemukan sepatu yang pas dan nyaman untuk kedua kakinya itu. Ketika ayahnya menyuruhnya untuk segera memilih, Hanif melihat sepatu yang menarik perhatiannya, tanpa berpikir lama Hanif langsung mengambil dan mencoba sepatu itu. Setelah ia mencoba mengenakan sepatu itu, ia merasakan kakinya begitu hangat dan nyaman.
Suatu hari, seorang staf ASA mengumumkan bahwa akan ada sebuah eksibisi turnamen soccer academy yang akan diadakan di Bangkok, Thailand. Pak Rony bertanya kepada Hanif, apakah ia siap berangkat ke Bangkok, Hanif menjawab bahwa ia siap tetapi dengan kurang bersemangat. Pak Rony langsung bertanya mengapa Hanif tidak bersemngat seperti biasanya. Ternyata, penyebabnya karena beberapa orang temannya yang mendapatkan beasiswa tidak bisa berangkat dengannya. Supaya bisa ikut ke Bangkok mereka yang mendapat beasiswa harus memiliki keterangan tidak mampu. Pak Rony tidak habis pikir dengan perlakuan berbau diskriminasi ini. Ia terus merenungkan keberhasilan karier Hanif dan juga merenungkan kata-kata salah seorang orangtua murid yang menyarankan Hanif untuk memasuki klub bola lokal atau mempunyai klub sendiri.
Beberapa hari kemudian, renungan-renungan itupun berbuah sebuah keputusan untuk mengeluarkan Hanif dari ASA dan membentuk klub sendiri. Pak Rony mulai merenung untuk memikirkan klub yang akan dibangunnya. Ia memuta semua ingatan permainan Hanif dilapangan, Hanif selalu bermain dengan dua sentuhan. Yang pertama, jika bola mendekat Hanif selalu menyentuhnya sekali untuk menghentikan bola dan satu sentuhan lagi untuk mengumpan kepada kawannya. Dari gaya bermain itulah pak Rony memberi nama klubnya dengan nama two touch yang memiliki moto skill and emotional, tujuannya adalah membangun kemampuan dan emosi yang stabil dalam kerjasama tim sepakbola.
Selanjutnya, kepengurusan dibentuk. Pak Rony menawari pak Triyoni, orang yang sudah memberikan usul itu untuk menjabat sebagai ketua dan wakilnya pak Rony sendiri. Bu Tia mendapatkan amanah sekretaris dan masalah keuangan menjadi tanggung jawab bu Susi, istri pak Triyoni sebagai bendahara. Sementara pak Slamet, orang yang pertama menemukan bakat Hanif didaulat menjadi kepala sekolah serta memberikan pendekatan dan pelatiha dari sisi emosional. Dan sebagai pelatihnya adalah pak Harry Tjong  yang pernah melatih ASA. Pak Rony mendapat informasi bahwa karena permasalahan pribadi dan persoalan idealisme, pak Harry mundur dari ASA. Selanjutnya surat pemberitahuan atas berdirinya Two Touch Academy Football sudah disiapkan untuk dikirim kepada pihak PSSI pusat dan Pengcab PSSI Jakarta Timur.
Dalam kompetisi perdana TwoTouch, untuk mengikuti final Danone Nations Cup 2008 di Prancis, tim Two Touc mengalami kekalahan. Pupuslah sudah harapan bertemu Zidane dan bermain di Prancis. Setelah pertandingan itu, Two Touch terus saja mengikuti berbagai kompetisi untuk melatih pengalaman dan skill mereka.
Ditengah perjalanan Two Touch dalam mengikuti berbagai kompetisi, tiba-tiba Hanif meminta izin ayahnya untuk mengikuti seleksi Timnas U-13. Dengan seizin ayahnya, ia mengikuti tes seleksi tersebut, ternyata usahanya tidak sia-sia, ia terpilih untuk ikut bermain bersama Timnas U-13 pada ajang AFC U-13 Festival Of Football di Malaysia.
Hanif mulai berlatih bersama anggota Timnas U-13 lainnya. Ketika latihan hari terakhir selesai, Hanif segera pulang untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya terbang ke Malaysia bersama Timnas U-13. Semangatnya membuncah, tetapi semangat itu luntur ketika malam tiba. Hanif merasa ada yang aneh dengan badannya, lalu Hanif segera menyampaikannya kepada orang tuanya. Setelah mendengar apa yang dirasakan Hanif, pak Rony langsung bergegas membawanya kedokter.
Keesokan harinya Hanif tetap saja ngotot berangkat ke Malaysia bersama anggota Timnas U-13 lainnya, dengan terpaksa kedua orangtuanya mengizinkan Hanif untuk berangkat. Setelah sampai di Malaysia, pak Rony langsung menelpon Hanif untuk mengontrol keadaannya. Pada hari pertama Hanif tidak bisa ikut latihan bersama teman lainnya.
Ketika Hanif pulih, fisiknya tangguh kembali. Ia siap menjadi bek bagi Timnas Indonesia. Tim merah putih bertempur habis-habisan, sehingga gelar juara pun didapatkan. Setelah pulang membela Timnas U-13, Hanif selalu memperhatikan ayahnnya yang beberapa hari kedepan selalu duduk didepan layar komputer. Ternyata pak Rony berniat untuk mendaftarkan Hanif pada training camp di Manchester United selama liburan sekolah, lalu dengan bersemangat Hanif menanggapinya.
Tujuh bulan berselang, Hanif dan keluarganya bersiap berangkat kekota Manchester, Inggris. Setelah tiba dikota Manchester, Hanif dan keluarganya langsung pergi menuju ke Denston College, tempat Hanif mengikuti training camp. Setelah tiba di Denston College Hanif langsung beristirahat untuk persiapan latihan pada keesokan harinya.
Hari latihan pun tiba, Hanif mulai berlatih bersama dengan anak-anak lain dari berbagai negara. Setiap hari Hanif selalu berlatih dengan semangat, walaupun latihannya digelar selama 3 kali dalam 1 hari, yang tentunya memerlukan energi banyak untuk mengikutinya. Setelah hari terakhir latihan tiba, seluruh peserta bergegas menuju lapangan untuk mendengarkan pengumuman siswa yang menjadi best player. Hanif pun terpilih bersama dengan kim dari korea, dari dua orang tersebut akan diseleksi kembali untuk mengikuti world skill finals. Mereka berdua harus bersaing dalm seleksi skill long pass. Peraturannya setiap peserta diberi 3 kali kesempatan menendang bola untuk mengenai targer orang-orangan yang berada pada jarak 30 meter dari titik yang telah ditentukan. Kim mendapatkan giliran pertama, ternyata dari 3 kali kesempatan yang diberikan ia tidak mampu mengenai target orang-orangan tersebut. Tetapi Hanif yang mendapat giliran terakhir berhasil mengenai target orang-orangan pada kesempatan tendangan yang terakhir. Hanif langsung bersorak gembira dan disambut dengan tepuk tangan orang-orang, dengan demikian Hanif terpilih untuk mengikuti world skill finals mendatang.
Keesokan harinya Hanif dan keluarganya mulai berpamitan pada peserta lainnya dan bersiap untuk pulang ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, setiap hari Hanif selalu giat berlatih untuk persiapan world skill finals mendatang.
Dua hari sebelum world skill finals digelar, Hanif bersama keluarganya langsung berangkat menuju bandara Internasional Machester. Setelah tiba disana, Hanif dan keluarganya langsung menuju ke hotel primer inn yang sudah disiapkan bagi peserta world skill finals beserata pendampingnya.
Pada hari berikutnya Hanif dan peserta lainnya segera bersiap untuk berlatih. Sebelum latihan dimulai mereka diajak kesebuah bangunan besar yang sangat tertutup disebuah kawasan perbukitan asridan sejuk di wilayah Carrington, Manchester. Bangunan ini diberi nama Trafford Training Centre atau sering disingkat TTC, yang merupakan tempat latihan para pemain Manchester United. Ditempat ini Hanif bersama dengan peserta lainnya diberi pengarahan. Dan setelah selesai diberi pengarahan mereka diajak ke sebuah rungan tertutup khusus akademi dan pemain. Setelah mereka sampai didepan pintu ruangan tersebut, mereka diberi kertas berisi foto-foto para pemain MU, setelah semua mendapatkannya, mereka langsung berbaris mengantre untuk masuk kepintu ruangan tersebut. Tak lama kemudian pintu dibuka secara perlahan dan mereka langsung disambut para pemain Manchester United yang selama ini hanya dilihat Hanif melalui televisi. Mereka mengantre dengan tertib dan menyodorkan kertas foto yng dipegang masing-masing peserta untuk ditandatangani langsung oleh setiap pemain Manchester United.
Setelah acara itu berakhir, sehari penuh Hanif diberi Coaching Clinic oleh Solskjaer dan Rene Meulensteen, asisten pelatih Alex Ferguson. Skill Hanif terus diuji dengan melakukan long pass, short pass, shooting, dribling dan sebagainya. Selama 2 hari penuh Hanif diberi coaching clinic, kemudian setelah selesai latihan hari kedua, semua peserta dan pendampingnya diundang untuk hadir ke stadion Old Trafford untuk menyaksikan pertandingan antara Manchester United melawan Blackburn Rovers dan sekaligus untuk mengumumkan pemenang world skill finals 2009.
Setelah tiba di stadion seluruh peserta diperintahkan untuk berbaris disebuah pintu masuk lapangan. Merakapun langsung berbaris dan mulai berjalan menuju lapangan, setelah mereka tiba dilapangan, suara tepuk tangan bergemuruh dari setiap sudut di Old Trafford. Dan tibalah saat pengumuman pemenang world skill finals, Hanif berusaha untuk tetap tenang. Dan akhirnya yang keluar sebagai pemenang world skill finals 2009 adalah anak berusia 11 tahun yang bernama Amor Gauti Brynjolfsson. Ia mendapatkan sebuah piala berbentuk prisai prajurit kerajaan berwarna coklat.
Setelah mendengar hasil pemenang world skill finals 2009 dan selesai menonton pertandingan antara Manchester United melawan Blackburn Rovers, keesokan harinya Hanif mulai berkemas dan mengucapkan salam perpisahan kepada setiap peserta lainnya. Sebelum meninggalkan Manchester, Hanif meminta waktu kepada kedua orangtuanya unyuk kembali mengunjungi stadion Old Trafford. Dengan izin kedua orangtuanya itu, Hanif ditemani keluarganya kembali berkunjung ke Old Trafford. Setelah tiba di Old Trafford, Hanif berjalan menuju kepintu utama Old Trafford, ia kembali menatap dan mengagumi kemegahan stadion Old Trafford. Ia bermimpi suatu saat nanti akan bermain di klub-klub sebesar Manchester United.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More